|
C © updated 30042006 -
18062003 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti |
|
|
Nama:
Pramoedya Ananta Toer
Lahir:
Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925
Meninggal:
Jakarta, 30 April 2006
Isteri:
Maemunah Thamrin
Pendidikan:
SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora
Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya
Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta
Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta,
Maruto Nitimihardjo
Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943
Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta
Pekerjaan:
Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
Instruktur kelas stenografi di Domei
Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta,
1962-1965
Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta,
1962-1965
Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965
Prestasi dan Penghargaan
1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales
from Blora)
1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta)
- declined by writer
1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile
1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center,
Australia
1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden
1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA
1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America
1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland
1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA
1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain
1995: Stichting Wertheim Award, Netherland
1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine
1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated
constantly since 1981.)
1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor
2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France.
2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan.
Buku:
Fiksi:
Krandji-Bekasi Djatuh, 1947
Perburuan, 1950
Keluarga Gerilya, 1950
Subuh, 1950
Pertjikan Revolusi, 1950
Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951
Bukan Pasar Malam, 1951
Di Tepi Kali Bekasi, 1951
Dia Yang Menyerah, 1951
Tjerita Dari Blora, 1952
Gulat di Djakarta, 1953
Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954
Korupsi, 1954
Tjerita Tjalon Arang, 1957
Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958
Tjerita Dari Djakarta, 1957
Bumi Manusia - HM, 1980
Anak Semua Bangsa - HM,1980
Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982
Jejak Langkah - HM, 1985
Gadis Pantai - HM,1987
Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987
Rumah Kaca - HM, 1988
Arus Balik - HM, 1995
Arok Dedes - HM, 1999
Mangir - KPG, 1999
Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001
Cerita Dari Digul - KPG, 2001
Non-Fiksi:
Hoakiau di Indonesia, 1960
Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962
Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi Soerjo
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997
Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001
Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia
Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947
Frits van Raalte, 1946
J.Veth, 1943
John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950
Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and
Affection), 1951
Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954
Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man),
1956
Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958
Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958
Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959
Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man)
Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees)
Kristoferus
Albert Schweitzer
Cerita Pendek
Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6.
Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2.
Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7.
Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19.
Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22.
Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9.
Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20.
Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101.
Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6.
Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64.
Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55.
Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9.
Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29.
Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286.
Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96.
Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30.
Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim.
Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20.
Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8.
Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8.
Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1.
Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1.
Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48.
Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9.
Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30.
Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26.
Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29.
Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2.
Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128.
Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26.
Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8.
Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6.
Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71.
Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30.
Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90.
Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245.
Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3.
Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7.
Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9.
Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8.
Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7.
Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6.
Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19.
Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5.
Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5.
Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8.
Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7.
Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8.
Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33.
Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8.
Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6.
Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7.
Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7.
Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4.
Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11,
(56): 26-7, 35.
Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268.
Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11.
"Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan
Nasional, 1956.
Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10.
Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42.
Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6.
Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7.
Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9.
Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6.
Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut
ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27
Puisi
Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9.
Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20.
Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20.
Alamat Rumah Keluarga:
= Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur
= Bojonggede, Bogor |
|
|
|
|
|
|
PRAMOEDYA HOME |
|
|
Pramoedya Ananta ToerSang Pujangga Telah Berpulang
Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar
pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta
Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram
dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU
Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi
prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.
Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak
Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan.
Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles
Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100
pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John
Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.
Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan
banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan
dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan
Mahalayam.
****
Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri
Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi
dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang
yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan
buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman
berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di
balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman
pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.
Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta
(1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno
karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang
mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat -
onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru
sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di
tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya
dihajar popor bedil.
Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani
wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’,
hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang
beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun
terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan
tulisan-tulisannya.
Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang
memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya
mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh
ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan
pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu
terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat
kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam
bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik
ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu
itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah
keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di
sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun
ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat
kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil
bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja
sebagai stenografer, lalu jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia
bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat
sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan
ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan
(1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa
novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga
Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari
menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan
pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan
Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora
(1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih
memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan
dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia
setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan
gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari
budaya Jawa Klasik.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur
Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada
PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik
kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai
organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno
lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah
seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya
mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra
memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah
merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di
Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang
Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah
nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial
di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat.
Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan
Soekarno.
Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun
Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik
Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang
kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak
enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam
mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri.
Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad
ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu,
sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.
Dari
para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia
menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap
keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini
ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau
hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi
sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan
yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.
Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang
yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal,
tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer.
Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun
1965.
Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama
15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada
Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno,
khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak
diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul
HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam
menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat
skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah
Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan
tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga
dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan
teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil
tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena
dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di
malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh
rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya
memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada
tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara
(1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin
mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan
Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah
diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari
tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di
luar negeri.
Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang
masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai
perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan
gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya
disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan
rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah
mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya,
rumahnya dan tulisan-tulisannya.
Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah
membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai
koran yang kemudian diklipping-nya.
Kini belasan bukunya sudah
diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang,
Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang
yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi
majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN
Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay
Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman
moderen rakyat Indonesia).
Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang
tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari
kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah
yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia
mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya
mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi
kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.
Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton
Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck
yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak
suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.
Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter
Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai
bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo,
Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali
tak menyukai sastra yang bergaya irasional.
Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan.
Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa
dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa
mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika
dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di
kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di
Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal
antiperaturan kolonialis.
Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis
essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari
berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya
menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca.
Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak
buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer
juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes". ►e-ti/Atur
Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|