SOERYO GOERITNO HOME |
|
|
Soeryo Goeritno
Pengusaha di Balik Tinju
Dia berpenampilan unik sekaligus nyentrik. Bicaranya lugas. Sepintas
tidak banyak orang menduga bahwa Soeryo Goeritno seorang pengusaha yang rela mengeluarkan uang
Rp 1,5 miliar dari koceknya sendiri untuk menggelar sebuah pertandingan
tinju. Dia memang seorang pecinta olahraga tinju.
Pakaian pria kelahiran 30 Januari 1943, ini didominasi bahan denim dengan kemeja bermotif kotak-kotak
atau divariasikan dengan kaus katun. Rambutnya panjang sebahu, berwarna
keperakan.
Soeryo menjadi promotor pertandingan juara dunia kelas terbang mini IBF
asal Indonesia, Muhammad Rachman, melawan Benjie Sorolla dari Filipina
pada 23 Desember 2006 di Jakarta. Kakek dua cucu inilah yang membiayai
seluruh pertandingan tanpa bantuan sponsor.
"Saya cinta olahraga tinju. Bukan baru sekarang, dari dulu sudah begitu,"
ujar Soeryo saat perayaan ulang tahunnya yang ke-64, 30 Januari 2007.
Tahun 1985, ketika Ellyas Pical menjadi juara dunia tinju pertama dari
Indonesia, nama yang meroket adalah promotor Boy Bolang. Padahal, di
belakang layar, pria yang fasih berbahasa Rusia dan Inggris inilah yang
menyokong dana.
Saat disebutkan kondisi tinju amatir Indonesia saat ini lebih parah
daripada tinju profesional, Soeryo langsung bertanya apa yang dapat dia
perbuat. "Beri tahu apa yang dapat saya bantu? Apakah saya boleh membawa
pelatih tinju dari Kazakhstan atau Uzbekistan bersama beberapa
petinjunya untuk menjadi lawan sparring atlet-atlet Indonesia?" katanya.
Kecintaan Soeryo terhadap tinju merupakan cerminan watak dan pribadinya
sehari-hari yang menyenangi unsur tantangan dan ketegangan. Bisnis yang
digelutinya didominasi oleh unsur-unsur tantangan dan ketegangan.
"Tinju merupakan olahraga keras yang mengandung ketegangan. Saya senang
tantangan yang memicu adrenalin. Buat saya, adrenalin harus tetap
mengalir. Tanpa adrenalin, saya tidur. Bisnis saya juga mengandung
banyak ketegangan dan sampai saat ini mudah-mudahan saya masih mampu
berhasil mengatasinya. Saya justru heran mengapa tidak dapat bekerja
pada jenis-jenis pekerjaan seperti orang-orang kebanyakan," ujarnya.
Dari bawah
Soeryo yang berasal dari keluarga kelas menengah menamatkan sekolah di
Indonesia. Tahun 1964 dia mendapat kesempatan beasiswa belajar geologi
di salah satu universitas di Moskwa, Uni Soviet.
Belum lama kuliah di Moskwa, terjadi perubahan besar politik di Tanah
Air. Kuliahnya sempat molor, tetapi bukan karena aliran dana terputus.
Hobi musik yang dia salurkan lewat band Equator—dibentuknya bersama
mahasiswa Indonesia lain—membuatnya sering bolos kuliah untuk
menyalurkan hobi sekaligus mencari duit.
"Sewaktu mahasiswa dulu, saya itu senang. Duit banyak, ke mana-mana naik
taksi di Moskwa," tuturnya sambil tertawa mengenang masa muda.
Pribadinya yang ramah dan supel membuat Soeryo dikenal berbagai kalangan
di Moskwa. Banyak gadis dikenalnya, tetapi pilihan jatuh kepada dara
cantik Lyudmila Alexandrovna yang kemudian dia nikahi sampai sekarang.
Tahun 1971, Soeryo kembali ke Tanah Air. Namun, status eks mahasiswa Uni
Soviet membuat dia terlibat kesulitan serius. Hanya tiga bulan Soeryo
bekerja di Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas), setelah itu dia
menggelandang di Jakarta.
Soeryo bekerja serabutan. Mula-mula menjadi sopir taksi. Malam hari
mangkal di lokasi hiburan malam. Pagi-pagi sudah mangkal di Stasiun
Gambir menunggu kereta api dari Surabaya. Tahun 1973, Soeryo mengurus
vila milik saudaranya di kawasan Puncak. Di sana, dia tidak diam. Sore
hari membeli sayur-sayuran di Cianjur, lalu malamnya membawa ke Pasar
Senen, Jakarta. Anak saya Novi (Pervanovana) waktu itu sudah lahir,"
tutur Soeryo.
Lepas berdagang sayur, Soeryo diajak temannya bekerja sebagai kontraktor
sipil. Meski berlatar belakang pertambangan, pekerjaan sipil dijalaninya
cukup sukses. Baru pada tahun 1980 hidupnya berubah. Ketika Presiden
Soeharto membuka hubungan kembali dengan Uni Soviet, Soeryo dilibatkan.
Saat ini Soeryo membina hubungan baik dengan angkatan bersenjata negeri
ini. Pengetahuannya yang mendalam di bidang persenjataan dan pertahanan
membuatnya duduk di lembaga Pusat Kajian Pertahanan dan Keamanan (CSDS)
di Jakarta.
Ketika Indonesia dilanda kabut asap akibat kebakaran hutan akhir 2006,
Soeryo mendapat kepercayaan memadamkannya. Dia terjun langsung memimpin
pemadaman di Kalimantan dan Sumatera.
Dari berbagai bisnis yang dia geluti, Soeryo selalu menyisihkan sebagian
keuntungan buat tujuan sosial. Bagian dari keuntungan itulah yang
kemudian disalurkan ke bidang olahraga dan sosial lain.
Di mata anaknya, Novi, Soeryo bukan lagi menjadi bapak, tetapi sudah
menjadi teman. Novi mengatakan, bapaknya tidak mampu berpisah lama
dengan keluarga. Sewaktu masih kecil, jika harus melakukan perjalanan
bisnis dalam waktu relatif lama, Soeryo pasti memboyong seluruh
keluarganya.
"Setiap Sabtu, Papa pasti datang ke rumah saya untuk melihat cucu atau
berkaraoke bersama kami," ungkap Novi yang memberi dua cucu buat Soeryo.
(Syahnan Rangkuti, Kompas 10 Februari 2007)
►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |