|
C © updated 19052008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/jil |
|
|
BIODATA
Nama:
Muhammad Yusman Roy
Lahir:
Surabaya 25 Februari 1955
Agama:
Islam
Karir:
- Pengasuh Pondok Iktikaf Ngaji Lelaku, Malang
Isteri:
Supartini
Anak:
- Fitri Lestari
- Hepi Yestiningtyas
- Yes Kurniayanti
- Imam
- Fitri Rofiyanti
- Nur Pangestin
- Moh Roy Zulkarnaen
- Asmarani Nur Mariam
- Saati Nur Mariam
|
|
|
|
|
|
|
YUSMAN ROY HOME |
|
|
Yusman Roy
Inti Agama Adalah Akhlak Mulia
Yusman Roy, pria kelahiran Surabaya 25 Februari 1955, dipenjara gara-gara mengajarkan
salat dua bahasa. Tetapi, apa pandangan dia tentang akhlak dan
keberagamaan? Berikut perbincangan Kajian Utan Kayu (KIUK) dengan
Pengasuh Pondok Iktikaf Ngaji Lelaku, Malang itu, di Kantor Berita Radio
68H Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bagaimana awal mula Anda mengenal agama?
Sebenarnya ini berawal semata-mata dari faktor usia. Sejak remaja, sudah
ada kesadaran pada diri saya tentang perlunya melakukan kebaikan. Terus
terang, saya cemburu pada teman-teman yang bisa berkelakuan baik dan
punya moralitas tinggi. Ini terjadi sekitar 1980-an.
Karena itu, saya turun dari ring tinju (Roy adalah mantan petinju
profesional) setelah sempat memecahkan rekor tercepat KO tinju
profesional di Indonesia.
Selanjutnya bagaimana?
Dari sana saya mulai iri melihat teman-teman yang berkelakuan lebih baik
dari saya. Lalu saya mulai mempelajari agama dan membaca Alquran yang
ada terjemahannya. Saya juga mulai belajar bahasa Arab.
Alhamdulillah, setelah itu saya jadi tahu persis bahwa segala sesuatunya
akan kembali kepada kekuasaan Allah. Allah berfirman, "Allah akan
menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa
pun yang dikehendaki-Nya." Hal ini tak bisa ditawar-tawar. Allah
berkenan memberi petunjuk dan membimbing saya, sehingga pintu hati saya
dibukakan untuk memahami Islam.
Sebelum memeluk Islam, seperti apa riwayat keberagamaan Anda?
Bapak saya Islam, tapi ibu saya keturunan Belanda memeluk Katolik.
Karena itu, di masa kecil, saya Katolik. Tapi, pilihan beragama pada
waktu itu bukan atas dasar kesadaran, tapi lebih karena ikut-ikutan.
Karena itu, saya belum bisa merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah.
Secara otomatis kenakalan-kenakalan masa kecil tak bisa dihindari,
sampai memasuki usia remaja dan menjalani profesi sebagai petinju.
Jujur saya katakan, saya pernah hidup di masa jahiliah. Artinya, terlalu
bebas dan tidak memakai aturan-aturan. Tapi, itu bagian dari hidup saya
yang tidak bisa dipisahkan. Itu juga hal yang patut saya syukuri.
Karena itu, memasuki usia ke-52 ini, saat melihat anak-anak nakal, saya
tak terlalu pesimistis. Saya tetap punya harapan. Sebab, diri saya yang
dulu nakal nggak ketulungan, toh bisa sadar dan berhenti juga. Dan,
Alhamdulillah, tiba-tiba Allah membukakan pintu hati saya untuk
berijtihad dengan gagasan salat dua bahasa yang diterima sebagian
kalangan muslim.
Anda ingin menekankan bahwa dalam kehidupan itu ada fase-fase atau
terminal-terminal yang harus dilalui orang?
Ya. Itu saya katakan sesuai dengan filsafat Jawa: aja dumeh. Maksudnya,
kalau melihat sesuatu yang kurang pas, janganlah terlalu dikecam, tapi
kita arahkan ke arah yang lebih baik. Istilahnya, selalu bil hikmah atau
dengan kearifan.
Jangan bertindak diskriminatif karena itu tak akan memberi kesempatan
kepada orang untuk berbuat baik. Berikan orang kesempatan berbuat baik.
Caranya banyak.
Misalnya?
Dalam hidup, saya sudah terbiasa melihat anak-anak nakal. Kuncinya:
bagaimana kita, sebagai orang tua, mengarahkan yang muda tanpa rasa
sakit hati. Kebanyakan orang tua nelangsa ketika melihat anak muda yang
nakal. Mungkin itu karena tidak ada pembekalan yang cukup pada orang tua
tentang bagaimana mendidik anak yang tak cocok dengan keinginannya.
Padahal, itu justru memukul hati sendiri. Biarlah sang anak berkembang
sendiri.
Adakah guru yang ikut membimbing Anda masuk Islam dan menginspirasi
untuk punya gagasan tertentu tentang Islam?
Awalnya saya mengaji syariat dasar kurang lebih lima belas tahun.
Setelah itu saya tingkatkan lagi dengan mengambil jurusan bil hikmah.
Itu lima tahun, dengan seorang kiai yang cukup ternama di Surabaya dan
Malang. Jadi, 20 tahun saya menuntut ilmu. Setelah 20 tahun menuntut
ilmu, saya lalu mengemas gagasan untuk memperbaiki kualitas salat, baik
sendiri maupun berjamaah.
Mengapa secara spesifik memilih salat?
Dari sanalah saya berangkat memperbaiki akhlak saya pribadi. Salat itu
tiangnya agama. Dan dalam agama dikatakan juga bahwa Inna as-shalâta
tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (sesungguhnya salat itu mencegah
perbuatan buruk dan kemunkaran)". Itu tercantum dalam Alquran surat 29:
45. Jadi, saya ingin ada pembentukan karakter melalui salat.
Tapi salat jenis apakah yang Anda maksud?
Memang tidak sembarang salat. Tiwas orang sudah kelihatan aktif salat,
tapi karakternya tetap tak berubah; masih tetap ada kefasikan-kefasikan.
Ini sungguh menusuk hati saya. Banyak orang yang aktif salat, tapi juga
jadi penjahat besar. Setelah saya dekati, ternyata benar apa yang saya
prediksi: mereka melafalkan bahasa Arabnya saja. Mereka tak tahu artinya.
Inilah yang jadi masalah.
Padahal, dalam Alquran surat al-Ma’un (4-5), Allah berfirman: Fawailun
lil mushallîn, alladzîna hum `an shalâtihim sâhun (celakalah pelaku
salat yang melalaikan salatnya). Lalai di sini banyak aspeknya. Bisa
juga karena tidak tahu konsekuensi dari apa yang dibaca dan apa yang
didengarnya.
Maksudnya?
Bisa saja orang terbiasa mendengarkan imam dalam salat. Tetapi, bisa
jadi sang makmum tidak paham maksud dan pesan dari ayat-ayat yang
dibacakan imam. Karena itu, tidak ada yang bisa diingat. Dari sanalah
saya menyimpulkan adanya orang yang gagal salat, dan itu celaka betul.
Dalam surat Maryam ayat 59, Allah berfirman: "Maka datanglah sesudah
mereka golongan yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa
nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatannya."
Menurut saya, orang yang menyia-nyiakan salat itu jumlahnya cukup
lumayan, termasuk saya sendiri dulu. Akibatnya, banyak orang yang salat,
tapi masih melakukan kejahatan.
Bagi saya, hanya salat yang berkualitaslah yang bisa membuat orang
berakhlak karimah. Saya membuktikan, dengan memperbaiki kualitas salat,
kehidupan saya ternyata mulai stabil. Dari sana saya mulai
menular-nularkan pengalaman kepada orang lain.
Kapan fase kesadaran itu tumbuh?
Sesudah dewasa, ketika saya sudah punya anak dan mulai mengasuh sebuah
pondok di Malang. Pondok itu saya bangun untuk menampung teman-teman
yang datang dengan membawa berbagai masalah. Ada yang sumpek, karirnya
gagal, dan sebagainya.
Mereka saya arahkan untuk salat dengan memahami apa yang dia baca dalam
salat yang menggunakan bahasa Arab.
Menurut Anda unsur apa dari agama yang paling penting?
Tentu saja budi pekerti. Kalau kita berangkat dari agama yang konsisten,
akan ada buahnya, yaitu adanya akhlak yang karimah. Nabi Muhammad
sendiri menyatakan bahwa dia diutus untuk menyempurnakan budi pekerti.
Jadi inti dari agama itu ada pada akhlak.
Nah, bagi kita yang beragama impor ini sudah barang tentu harus paham
arti dan isi pesannya. Kalau bahasanya saja kita tidak tahu, bagaimana
kita bisa menghayati isinya. (nvriantoni, Indo Pos, Jumat, 15 Juni 2007) ►ti
Siap Masuk Penjara
MOHAMMAD Yusman Roy, kelahiran Surabaya 25 Februari 1955, belakangan ini
menjadi sorotan. Bahkan, di kalangan tokoh agama, ulama, termasuk
Majelis Ulama Indonesia, namanya juga menjadi perbincangan.
Belakangan ini kalangan mantan petinju juga membicarakannya. Sebab, di
ruangan tempat dia dan jamaahnya (santri) shalat dan mengaji, terpampang
fotonya saat di atas ring menganvaskan Suwito dari Sasana Kilometer 5
Yogya dalam waktu 59 detik.
Tidak banyak yang tahu siapa dia sebenarnya. Pelatih Sasana Sawunggaling
Surabaya pun mengaku tidak kenal dan merasa tidak ada petinju di
sasananya yang bernama Yusman Roy. Demikian pula Wongsosuseno, yang
menjadi petinju di sasana itu hingga 1982-an, juga tidak kenal Yusman
Roy yang mengaku sebagai petinju Sawunggaling.
Jangankan masyarakat, istrinya pun, Supartini, gadis asal Ngantang,
Pujon Batu, yang dinikah Roy tahun 1985, juga tidak tahu masa lalu
Yusman Roy, pendiri Pondok I'tikaf Jamaah Ngaji Lelaku. Kenalnya pun
karena Supartini sengaja menyimpan guntingan koran yang memuat foto
Yusman Roy saat mengenakan sarung tinju.
Padahal, teman-temannya tahu, Supartini tidak suka olahraga tinju.
Tetapi saat melihat foto Yusman Roy mengenakan sarung tinju, dia ingin
sekali berkenalan dengan lelaki itu.
"Tumbu oleh tutup" mungkin itu kata-kata yang tepat ditujukan kepada
pasangan Yusman Roy - Supartini. Supartini penasaran untuk berkenalan,
dan Yusman Roy yang lengan kanannya penuh tato melontarkan tantangannya
untuk melamarnya, meski masa berkenalan hanya tiga minggu.
Dan jadilah pasangan itu suami-istri, yang kini dikarunia 9 anak, yaitu
Fitri Lestari (19), Hepi Yestiningtyas (17), Yes Kurniayanti (15), Imam
(12), Fitri Rofiyanti (11), Nur Pangestin (8), Moh Roy Zulkarnaen (5),
Asmarani Nur Mariam (4,5), dan si bungsu, Saati Nur Mariam, yang berusia
16 bulan.
Kerasnya kehidupan pada masa lalu telah menempa dirinya menjadi
laki-laki yang tahan bantingan. Termasuk saat memulai ajarannya itu, dia
sudah siap dipenjara.
Bahkan, kerasnya menghadapi kehidupan dan kenyataan hidup sudah
diajarkan pada anak dan istrinya. Begitu dia dipanggil Polres Malang,
Supartini dan beberapa anaknya yang remaja dan dewasa sudah bisa
menerima kenyataan dan tampak tegar. Sementara anak-anaknya yang masih
kecil justru dengan bangga bercerita bahwa ayahnya sering masuk televisi.
Selama Roy di tahanan, anak dan istrinya beranggapan bahwa Gus Roy masih
lelaku.
Kesederhanaan yang melekat pada Gus Roy selaku pendiri pondok itu juga
tercermin pada rumah yang ditinggalinya. Bangunannya bersebelahan dengan
pondok serta musala yang digunakan untuk shalat bagi jamaah. Memang
tidak banyak yang menduga tempat itu sebuah pondok, karena memang
aktivitas santri ataupun pengajian tidak begitu tampak. Pada malam bulan
purnama, pondok itu menggelar pengajian rutin yang disebut Malam
Qomariah.
M Yusman Roy, pemimpin pondok ini, mengungkapkan, shalat dengan dua
bahasa (Arab dan Indonesia) itu dilakukannya, karena pada umumnya saat
shalat berjamaah, makmum tidak mengerti bacaan imam. Banyak orang yang
belum memahami bacaan imam. Karena itu, shalat di sini dibuat berbeda,
yaitu imam membaca dua kali ayat Quran dengan bahasa Arab dan Indonesia.
(jo-29t, Suara Merdeka, Senin, 09 Mei 2005)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|