Rubrik
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Jawa Tengah
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Fokus
Pustakaloka
Pergelaran
Ekonomi Rakyat
Ekonomi Internasional
Didaktika
Pendidikan
Teropong
Pixel
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Wisata
Perbankan
Sorotan
Ilmu Pengetahuan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Bentara
Muda
Musik
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Jendela
Telekomunikasi
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 09 Oktober 2003

Kabupaten Rokan Hilir

TAK terbayangkan bagaimana repotnya orang mengurus surat nikah. Ia harus mendatangi instansi terkait sejauh 250 kilometer lewat laut dan darat. Begitu pula pegawai dari cabang dinas tertentu yang harus menempuh nyaris sehari penuh hanya untuk pergi ke kantor pusat.

ITULAH gambaran Rokan Hilir (Rohil) masa lalu ketika masih bergabung dengan Bengkalis. Wajar kalau keadaan seperti itu membuat warga eks Kawedanan Bagansiapi-api ini ingin berpisah dan mempunyai kabupaten sendiri. Keinginan itu sebetulnya pernah dicoba pada Desember 1963 tapi tak jadi. Sempat berubah status menjadi Daerah Pembantu Bupati Wilayah I (Mei 1987), daerah ini akhirnya disahkan sebagai kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999.

Setelah keinginannya terkabul, daerah ini bercita-cita bisa kembali seperti masa lalu, berjaya sebagai salah satu penghasil ikan terkenal di dunia. Bagansiapi-api, yang sampai sekarang masih berstatus pusat pemerintahan sementara Rohil, memang pernah tersohor sebagai "gudang"-nya ikan. Cita-cita ini sering diungkapkan dalam beberapa referensi sebagai "Mimpi Bagansiapi-api".

Walaupun baru resmi berpredikat pelabuhan pada tahun 1968, sekitar tahun 1965 dari daerah itu pernah tercatat ekspor ikan sebanyak 16.878 ton. Wilayah pemasarannya cukup luas, mulai dari Sumatera Selatan hingga Jawa, bahkan hingga Malaysia dan Singapura. Selain perikanan, daerah pesisir ini terkenal karena industri kapal kayu yang berlangsung sejak awal 1900-an. Dengan bobot antara 200-300 ton, kapal-kapal buatan "tangan alam" warga Bagansiapi-api ini banyak dipakai oleh nelayan di berbagai daerah di Indonesia.

Tak mudah untuk menjawab apakah cita-cita itu bisa terlaksana. Masalahnya, pada pertengahan 1970-an usaha perikanan sering diberitakan mengalami penurunan produksi. Sampai tahun lalu, produksi perikanan laut mencapai 74.942 ton, perairan umum 143 ton, (perikanan) budi daya 410 ton, dan rumput laut 265 ton. Sementara itu, pangsa Provinsi Riau dalam perikanan darat dan laut se-Sumatera hanya 21 persen tahun 1999 dan 2000, atau nomor dua setelah Sumatera Utara. Penduduk Rohil yang bekerja di lapangan usaha ini pun cuma 5,5 persen dari total 131.750 orang usia kerja.

Nasib yang sama juga terjadi pada kapal kayu, kendati sampai sekarang masih dinilai sebagai komoditas unggulan. Hambatan utama usaha ini adalah persediaan bahan baku kayu lokal yang semakin menipis. Sekitar 71 unit usaha yang masih bertahan-terutama di Kecamatan Bangko dan Rimba Melintang-kebanyakan mengandalkan kayu dari Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).

Dialiri Sungai Rokan sepanjang 350-an kilometer, alam daerah ini kaya dengan lahan yang banyak dimanfaatkan untuk komoditas perkebunan. Tahun 2002 sumbangan perkebunan mencapai 14,3 persen terhadap total pertanian Rohil. Seperti beberapa kabupaten tetangganya, daerah ini dikaruniai kelapa, karet, dan terutama kelapa sawit yang berlimpah.

Sampai tahun 2000, produksi sawit sekitar 308.000 ton dengan nilai Rp 216,6 miliar. Di tingkat provinsi, hasil sawit ini nomor dua setelah Kabupaten Inhil (553.950 ton), dan bersaing ketat dengan Kabupaten Siak (265.862 ton). Meskipun berlimpah dalam produksi, pengolahan dan pemasaran lebih banyak dilakukan di Dumai, sedangkan pengolahan setempat hanya di Baganbatu yang juga merupakan lahan perkebunan sawit terbesar.

Secara geografis, keberadaan Rohil memang sangat strategis untuk perdagangan. Selain Dumai, beberapa kota pantai yang turut meramaikan kegiatan ini antara lain Belawan, Tanjung Balai, Labuhan Bilik, Pangkalan Brandan, serta wilayah Malaysia seperti Port Dickson, Melaka, Port Kelang, dan Kuala Lumpur.

Di luar sawit, tanaman lain yang mungkin selama ini tak disadari potensinya adalah padi. Selama tahun 2000-2002 kabupaten ini sebetulnya merupakan penghasil padi terbesar nomor dua di Riau setelah Inhil. Dengan luas lahan sawah yang bertambah 58 persen sejak tahun 2000, tiga tahun terakhir rata-rata produksi padi sekitar 120.000 ton. Dua kecamatan penghasil utama tanaman bertandan ini adalah Rimba Melintang dan Bangko.

Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja dalam lapangan usaha tanaman pangan pun terbilang paling tinggi, yaitu 34 persen, sedangkan perkebunan hanya 21 persen. Dari 11 kecamatan, Bangko, Rimba Melintang, dan Kubu, merupakan daerah utama penghasil padi. Rimba Melintang sendiri juga dikenal sebagai penghasil jagung bersama Kecamatan Bagan Sinembah dan Tanah Putih. Beras yang terkenal di sini adalah jenis ramos yang disebut si gudang.

Ironisnya, tingginya produksi padi rupanya belum diimbangi dengan pengolahan di wilayah sendiri. Sebagian besar padi diolah ke daerah lain dan baru kemudian dipasarkan ke berbagai wilayah, termasuk Rohil! Dan, masalahnya tidak itu saja. Dengan lahan yang sebagian besar merupakan tadah hujan, para petani boleh dibilang tak bisa memanfaatkan lahan secara optimal selama musim kemarau. Hal ini masih ditambah lagi dengan terbatasnya modal dan sarana serta prasarana pertanian.

Krishna P Panolih/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Rokan Hilir

·

Ketika Ikan Pun Mulai Menjauh



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS