Rubrik
Jawa Tengah
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Jendela
Pustakaloka
Fokus
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Audio Visual
Otonomi
Furnitur
Agroindustri
Sorotan
Teropong
Didaktika
Ekonomi Internasional
Pergelaran
Kesehatan
Telekomunikasi
Wisata
Bentara
Bingkai
Pixel
Otomotif
Ekonomi Rakyat
Pendidikan
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Perbankan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Muda
Musik
Ilmu Pengetahuan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 06 Januari 2004

Kabupaten Mamasa

"Semua Desa Terjangkau Telepon Tahun 2005", begitu bunyi judul berita dalam sebuah media massa. Berita yang diekspos pada pertengahan Desember 2003 itu menyebutkan tidak kurang dari 70.000 desa di Indonesia belum terjangkau fasilitas telekomunikasi, terutama telepon. Bisa jadi, angka itu sudah mencakup 123 desa di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Selatan.

BAGI masyarakat Mamasa, telepon, terutama telepon rumah, tergolong barang langka. Untuk melayani komunikasi dengan "dunia luar" melalui medium itu, tersedia warung telekomunikasi (wartel). Wartel yang jumlahnya tidak lebih dari 10 buah hanya terdapat di kota kecamatan. Seluruhnya memanfaatkan jasa satelit.

Fasilitas listrik di Mamasa juga minim. Dari sepuluh kecamatan, enam kecamatan belum dialiri listrik. Kecamatan itu adalah Arrale, Tabulahan, Tanduk Kalua, Sesena Padang, Panada, dan Tabang. Dalam keenam kecamatan itu terdapat 101 desa. Yang beruntung bisa menikmati aliran listrik hanya 22 desa pada kecamatan Mesawa, Mamasa, Sumarorong, dan Mambi.

Mesawa dan Mamasa menikmati aliran listrik selama 24 jam. Sumber aliran listrik Mesawa berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bakaru. Sedangkan listrik di Mamasa berasal dari tiga Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Diesel yang mengalirkan listrik di Kecamatan Sumarorong dan Mambi tidak mampu beroperasi sehari penuh. Di Kecamatan Sumarorong hanya berfungsi delapan jam, sementara di Kecamatan Mambi hanya mampu beroperasi selama tujuh jam.

Kondisi jalan juga memprihatinkan. Jarak dengan Polmas, sebutan populer Kabupaten Polewali Mamasa, tetangga Mamasa di sebelah Selatan, sekitar 90 kilometer. Waktu tempuh untuk jarak yang relatif tidak terlalu jauh itu sekitar empat jam, dengan catatan kondisi cuaca bagus. Jika hujan, waktu yang dihabiskan di jalan akan bertambah sekitar 1-2 jam. Kendaraan yang melintas hanya dipacu dengan kecepatan rata-rata 25 km per jam. Gerak lambat itu berkaitan dengan kondisi jalan dan topografi Mamasa.

Topografi daerah yang terletak di sebelah utara Kota Makassar itu bergunung-gunung, dengan ketinggian 300-1.700 meter di atas permukaan laut. Lebih dari separuh (66,8 persen) wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat. Kondisi itu menyebabkan jalan menuju Mamasa berkelok-kelok dan mendaki. Lebar jalan berkisar 5-7 meter. Seluruh jalan dalam kondisi rusak. Baik itu jalan beraspal milik provinsi sepanjang 64,2 kilometer, jalan kerikil antarkecamatan sepanjang 160,4 kilometer maupun jalan tanah antardesa sepanjang 565,3 kilometer. Lubang dengan berbagai ukuran bertebaran, bahkan beberapa badan jalan tertutup oleh longsoran tanah.

Minimnya infrastruktur di Mamasa segera terasa begitu melewati batas wilayah Polmas. Sampai tahun 2002, Mamasa merupakan salah satu kecamatan di Polmas. Dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2002, sejarah Mamasa berubah. Mamasa menjadi kabupaten otonom. Perubahan status memungkinkan Mamasa mengatur diri sendiri. Dalam anggaran belanja daerah, kabupaten ini mengalokasikan sekitar Rp 40 miliar atau 46,7 persen dari total pengeluaran untuk biaya pembangunan.

Sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika menelan anggaran paling besar. Jumlahnya tidak kurang dari Rp 17 miliar. Mamasa memprioritaskan pembenahan jalan dan jembatan. Dengan infrastruktur yang memadai, diharapkan roda kegiatan ekonomi kabupaten dapat berputar lebih cepat.

Mamasa tidak minim potensi untuk mandiri. Kondisi alam yang dimiliki memungkinkan wilayah ini menjadi daerah tujuan wisata. Air terjun, hutan wisata, dan rumah ukir yang ada bisa menjadi obyek wisata. Secara adat dan budaya, Mamasa mirip Tana Toraja sehingga suku di Mamasa disebut juga suku Toraja Barat. Kemiripan ini dikarenakan Mamasa berbatasan langsung dengan tujuan utama pariwisata di Provinsi Sulawesi Selatan itu.

Mamasa juga merupakan lahan subur bagi tanaman kopi. Konon, sejak nenek moyang mereka, daerah ini merupakan penghasil kopi. Baik jenis arabika maupun robusta. Di Sulawesi Selatan, daerah ini termasuk MADUTRA, yakni daerah penghasil kopi yang meliputi Mamasa, Kecamatan Duri di Kabupaten Enrekang, dan Tana Toraja.

Lahan Mamasa untuk perkebunan kopi arabika dan robusta masing-masing seluas 12.248 hektar dan 4.149 hektar. Dari lahan itu dihasilkan 5.184 ton kopi arabika dan 2.226 ton kopi robusta. Lahan itu seluruhnya milik rakyat. Karena kendala infrastruktur, belum ada pihak swasta yang tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah ini. Padahal, Mamasa menyediakan lahan 15.000 hektar yang terbentang di perbatasan Mamasa dengan Kabupaten Tana Toraja.

Setiap hari Senin, biji kopi membanjiri pasar Mamasa. Umumnya kopi arabika. Biji kopi robusta ikut "meramaikan" pasar saat panen raya di bulan Agustus. Sayangnya, Mamasa belum memiliki industri pengolah kopi. Akibatnya, komoditas andalan itu dijual ke kabupaten tetangga sebelum mengalami pengolahan lebih lanjut. Kopi yang dihasilkan Kecamatan Tabulahan dijual ke Kabupaten Mamuju.

Dengan kopi sebagai komoditas andalan dari perkebunan, kontribusi sektor ini terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Mamasa tahun 2002 tercatat Rp 174,5 miliar. Nilai itu setara dengan 38 persen dari total kegiatan ekonomi yang berjumlah Rp 458,7 miliar. Dari seluruh nilai itu, tanaman bahan pangan memberikan kontribusi sekitar 22,9 persen. Dilihat dari kontribusi yang diberikan pada nilai PDRB, struktur perekonomian Mamasa masih didominiasi sektor pertanian.

Kecamatan Mambi yang terletak 610 meter di atas permukaan laut merupakan lahan subur bagi tanaman manggis. Makassar menjadi daerah pemasaran bagi buah ini.

Avokad yang menjadi tanaman sela di pekarangan rumah atau di pinggir kebun ini tumbuh hampir di seluruh kecamatan. Untuk mengembangkan produksi buah ini, pemerintah Kabupaten Mamasa menyediakan lahan sekitar 50 hektar di Desa Lambanan, Kecamatan Mamasa.

BE Julianery Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Mamasa

·

Kabupaten Baru yang Tidak Punya Rumah Sakit



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS